Jika pada 2008 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan jumlah pengguna Internet di Indonesia hanya sekitar 5.000 orang, kini Internet telah dinikmati oleh sekitar 63 juta orang di tanah air. Angka ini pun diperkirakan akan terus bertambah seiring perkembangan teknologi dan daya konsumsi masyarakat. Lantas apa yang menjadi masalah?
Hasil riset Yahoo! Indonesia dan TNS Indonesia pada Desember 2008 mengungkapkan pengakses Internet di Indonesia didominasi remaja (64%). Sedangkan hasil survei APJII pada pertengahan 2012 menunjukkan 64,2% pengguna Internet di Indonesia berusia 12-34 tahun. Paling tidak angka-angka di atas memberi gambaran kepada para orang tua bahwa Internet bukan lagi barang langka untuk diakses anak-anak.
Mereka, si digital natives
Di Amerika Serikat, seorang anak rata-rata menghabiskan waktu lima jam untuk mengakses Internet. Para orangtua pun sering kurang menyadari ihwal ini. Hasil quick survey Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) pada Maret 2011 di Depok, Jawa Barat, menyebutkan anak-anak rata-rata mengakses Internet selama 1,5-3 jam per hari. Kebiasaan ini berlangsung sepulang sekolah dan pada malam hari. Namun, ada juga yang mengakses Internet selama jam sekolah, terutama mereka yang menggunakan smart phone.
Anak-anak ini menggunakan Internet untuk mengakses social media (seperti Facebook, Twitter, Youtube), google, dan situs-situs online. Internet juga digunakan untuk mencari materi-materi pelajaran guna mengerjakan tugas sekolah. Bagi anak-anak ini, keberadaan dan posisi Internet tentu berbeda dengan standing point para orangtua. Masing-masing mengenakan kacamata berbeda. Anak-anak ini lahir ketika teknologi Internet sudah ada. Tak heran mereka lebih lihai bermain dengan teknologi ini ketimbang para orangtuanya. Anak-anak ini adalah generasi Internet atau lebih dikenal dengan istilah digital natives.
Nah, bagaimana dengan para orangtua? Umumnya, generasi orangtua kita merupakan generasi ketika Internet menjadi ‘tamu’ di masa itu. Mereka harus belajar menggunakan pos-el (e-mail) dan jejaring sosial saat umur mereka tak sebelia digital natives. Banyak penyesuaian yang harus mereka lakukan, layaknya pendatang baru di sebuah tempat. Karena itu, mereka disebut digital immigrants.
Perbedaan di atas menjadi pekerjaan rumah bagi orangtua. Tantangannya terletak pada bagaimana memperkecil jurang digital di antara keduanya. Para digital natives ini memiliki pola pikir dan pendekatan yang berbeda ketika menggunakan teknologi. Mereka cenderung mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu (multitasking), sehingga kadang orangtua sulit mengarahkan mereka untuk berkonsentrasi pada satu hal.
Mereka menyukai hal-hal yang bersifat cepat, multi-media, visual, dan dinamis (playful). Berbeda dengan orangtua yang cenderung lambat, runtut, dan statis. Karena itu, bukan rahasia lagi jika sebagian besar anak-anak sekarang lebih senang ‘membaca’ di Internet ketimbang membaca buku yang monoton berisi teks. Mereka lebih memilih bertanya pada google.com ketimbang mencari materi tugas sekolah di buku-buku di perpustakaan.
Tantangan Bagi Orangtua
Anak memang merupakan kelompok yang rentan terhadap dampak penggunaan media. Kemampuan filter informasi mereka masih belum memadai. Karena itu, peran orangtua dan orang dewasa sangat dibutuhkan untuk mengawal mereka memaksimalkan manfaat Internet sesuai kebutuhan mereka.
Perbedaan pendekatan antara anak dan orangtua terhadap Internet dapat dijadikan sebagai titik awal untuk memperkecil jurang di antara keduanya. Dengan memahami perbedaan tersebut orangtua dapat bertidak antisipatif terhadap kemungkinan negatif penggunaan Internet.
Kadang sebagian orangtua menemui kesulitan bagaimana mengimbangi kemahiran anak mereka menggunakan perangkat komunikasi dan Internet. Biasanya, ketidaksanggupan tersebut berawal dari ketidaktahuan. Sebenarnya, orangtua tidak harus ‘terengah-engah’ mengejar kepiawaian para digital natives. Harus up-to-date tak berarti orangtua harus bisa menggunakan Facebook atau Twitter.
Hal terpenting, orangtua tahu dan memahami prinsip-prinsip dasar kedua jejaring sosial tersebut, misalnya. Informasi ini bisa digali langsung dari anak-anak kita sendiri. Tak ada kata malu untuk menimba ilmu dari mereka. Melalui cara ini, para orangtua bisa membuka ruang komunikasi dan memahami perilaku anak dalam menggunakan Internet.
Umumnya, ketika membicarakan Internet dengan anak, para orangtua memposisikan dirinya lebih superior. Padahal, untuk perbincangan yang bersifat sharing dan menggali informasi, memposisikan diri sejajar dengan mereka akan menciptakan kondisi yang positif. Anak pun tidak merasa terintimidasi. Gunakan pertanyaan terbuka, tidak bersifat investigatif. Dengan cara ini mereka bersedia lebih terbuka dan kooperatif.
Dari komunikasi yang baik, para orangtua bisa mengidentifikasi aktivitas ber-internet anak-anak (termasuk teman-teman mereka) dan kebutuhan mereka terhadap Internet. Jangan pernah reaktif setelah tahu banyak tentang mereka. Hal tersebut justru membuat mereka menarik diri dan enggan untuk berkomunikasi dengan orangtua. Karena itu, ketika anak mulai mengenal Internet, sedini mungkin orangtua membuka keran komunikasi dengan anak. Semakin mereka beranjak remaja, semakin diperlukan usaha ekstra untuk membuka keran tersebut.