Data BPS sejak tahun 1997 menunjukan, sebanyak 77% penduduk Indonesia berumur 10 tahun ke atas menonton televisi. Jumlah ini terus mengalami kenaikan menjadi 79% pada 2000 hingga 85% pada 2003. Pastinya, angka tersebut terus bertambah seiring kedudukan televisi yang tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan tersier. Di sisi lain, jumlah stasiun TV yang beroperasi di tanah air pun semakin semarak. Lalu, persoalannya di mana?
Situasi di atas ternyata membawa efek samping, terutama bagi anak-anak. Menurut Sunardian Wirodono dalam bukunya Matikan TV-Mu!, televisi merupakan media yang paling luas dikonsumsi masyarakat Indonesia. Sebagai media audio visual, televisi tidak membebani banyak syarat bagi masyarakat untuk menikmatinya. Media massa ini tidak memiliki jarak yang jauh dengan masyarakat Indonesia, karena memang kebiasaan kita yang lebih kuat dengan budaya lisan. Hal ini mungkin bertolak belakang jika sedari awal kita terbiasa dengan budaya baca-tulis. Alhasil, televisi dapat dinikati siapa saja, dari anak-anak, remaja, hingga orangtua.
Namun, tidak semua siaran televisi cocok untuk dikonsumsi anak-anak. Celakanya lagi, bila dihitung secara saksama, waktu yang dihabiskan anak-anak untuk menonton di depan layar kaca, jauh lebih banyak dibandingkan jumlah jam yang mereka habiskan untuk belajar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) pada 2006 menunjukkan, jumlah jam menonton pada anak-anak usia sekolah dasar berkisar 30-35 jam seminggu. Jumlah tersebut belum termasuk 10 jam untuk bermain video game. Padahal, waktu menonton TV bagi anak-anak yang dianjurkan hanya 2 jam setiap hari.
Tak heran jika kini keberadaan televisi menjadi sebuah dilema bagi orangtua terhadap perkembangan buah hatinya. Bahkan, beberapa kasus kematian anak erat hubungannya dengan konsumsi tayangan televisi yang bukan seharusnya menjadi tontonan mereka.
Sejak 2006, YPMA dan YKBH (Yayasan Kita dan Buah Hati) menggagas dan merealisasikan kampanye sehat bertelevisi melalui gerakan HARI TANPA TV. Seperti dilansir dari situs KPI saat persiapan gerakan Hari Tanpa TV tahun 2008, Nina Armando dari Koalisi Nasional Hari Tanpa TV menyatakan bahwa hari tanpa TV tidak dimaksudkan untuk memusuhi TV, melainkan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar menggunakan TV dengan bijak, terutama bagi anak-anak. Kegiatan ini juga untuk mengurangi ketergantungan anak pada TV.
Seperti dikutip dari situs resmi YPMA, www.kidia.org, HARI TANPA TV adalah gerakan nasional yang mengajak keluarga-keluarga di Indonesia untuk tidak mengkonsumsi siaran televisi selama sehari penuh agar mereka dapat merasakan bahwa hidup bisa lebih bernilai ketika lebih banyak kegiatan lain dapat dilakukan secara bersama ketimbang menonton televisi. Pengalaman seperti ini sangat penting dimiliki oleh semua anggota keluarga untuk meyakinkan bahwa hidup tetap menyenangkan tanpa harus tergantung pada TV. Karena itu, HARI TANPA TV tahun 2009 ini mengambil tema “Turn off TV, Turn on Live”.
Besok, 24 Juli 2009 pukul 08.00 WIB, digelar Aksi Damai di Bundaran Hotel Indonesia dan berbagai kota di tanah air untuk mengawali gerakan ini. Sementara pelaksanaan HARI TANPA TV berlangsung pada Minggu, 26 Juli 2009. Sebagai upaya untuk menyalurkan kegiatan anak, pada hari tersebut panitia menyelenggarakan kegiatan alternatif untuk anak—yang untuk di daerah Jakarta—dipusatkan di Monas.
Gerakan ini adalah sebuah bentuk kepedulian terhadap perlindungan dan kepentingan terbaik anak, membangun kekritisan terhadap isi tayangan televisi, dan kesadaran untuk memanfaatkan waktu bagi kehidupan yang lebih berkualitas.
Ayo, dukung HARI TANPA TV.
Matikan TV selama sehari, Minggu 26 Juli 2009!
Kunjungi www.kidia.org untuk informasi lebih lanjut.